Tuesday 3 July 2012

Narsisisme (2)


Freud berpendapat bahwa seorang bayi merasa dirinya sempurna dan sangat berpengaruh. Ia memiliki pikiran yang terbatas dan tidak terbatas (omnipotence of thought). Semua energi libido digunakan untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya dan untuk merawat keberadaannya. Investasi dasar dari energi ini diberi nama “Ego Libido” atau narsistik. Insting-insting autoerotis adalah instink yang sifatnya primodial dan melalui insting inilah narsisisme mulai muncul pada diri individu. Selanjutnya, Freud membagi narsisisme menjadi 2, yaitu ;

1. Narsisisme primer

Pada narsisisme primer, energi libido diarahkan pada diri sendiri untuk memuaskan diri sendiri. Pada saat tertentu, sesuai dengan perkembangannya, si bayi tidak lagi menemukan kepuasan diri yang sempurna melalui pikirannya ini. Ia kemudian mengalami interupsi dalam pemuasan narsisistiknya (narcissisistic self-absorption). Pada akhirnya ia akan mengalihkan energi libidonya pada orang lain untuk mencari kepuasan itu walaupun baginya kepuasan ini tidak sesempurna yang pertama.

2. Narsisisme sekunder

Sedangkan pada narsisisme sekunder, investasi energi libido tersebut dialihkan kepada orang lain tapi tetap dilakukan dengan tujuan untuk dapat memuaskan diri sendiri.

Freud (1911 dalam Siegel, 1996) mencoba untuk menerangkan perkembangan narsisisme ini melalui studi mengenai psikosis. Freud mencoba menganalisis buku harian milik Schreber, seorang hakim yang menulis buku harian pada saat ia mengalami episode psikosis. Analisis Freud menggunakan buku harian tersebut yang menggambarkan delusi paranoid yang dialami Schreber untuk mempelajari proses yang terjadi dalam psikosis. Freud meyakini bahwa patologi mendasar dalam psikosis tersebut adalah terjadinya regresi pada tahap narsistik dimana pada tahap itu tidak ada kelekatan (attachment) terhadap objek. Freud membangun perkembangan kontinum dari object attachment yang diawali dengan tahap narsistik (objectless) dan bergerak menuju tahap objek cinta, suatu tahapan dimana objek tersebut dicintai dan dihayati sebagai sesuatu yang terpisah.

Perkembangan Konsep Narsisisme

Konsep narsisisme yang dikembangkan oleh Freud sangat mempengaruhi pemikiran psikoanalisa modern. Salah satu pemahaman narsisisme dalam bidang klinis dari perspektif psikoanalisa modern dapat ditemukan pada teori Kohut. Kohut (dalam Siegel, 1996) melihat narsisime sebagai suatu tahapan perkembangan diri. Sementara itu, manifestasi dari narsisisme yang tidak sehat adalah depresi dan kehampaan perasaan sebagaimana ia temui pada beberapa pasiennya. Keluhan mereka berkisar pada kemungkinan hilangnya makna dan gairah hidup mereka sehingga mereka menjalani hidup dengan berat hati.

Menurut Kohut, kebutuhan utama yang diperlukan dalam perkembangan narsisisme yang sehat adalah  :
  • Kebutuhan untuk dicerminkan yang dimanifestasikan melalui kebutuhan anak-anak untuk mendapatkan pengakuan, persetujuan, dan kekaguman terhadap ekspresi dan perilaku mereka. Orang yang paling penting untuk pencerminan ini adalah ibu. 
  • Kebutuhan untuk mengidealisasikan yang dimanifestasikan melalui kekaguman dan identifikasi pada orang dewasa yang lebih berkuasa. Orang yang paling diidealkan oleh anak biasanya adalah ayahnya.


Berkaitan dengan kontinum perkembangan narsistik dari Freud, maka Kohut berusaha untuk menambahkan pemahaman narsisisme berdasarkan sudut pandangnya yang sedikit berbeda dengan konsep obyek cinta pada Freud sebagai titik akhir dari kematangan narsisisme. Bagi freud, penolakan dari narsisisme untuk kepentingan obyek cinta adalah tujuan dari treatment Freud, sementara ide Kohut mengenai narsisisme membawa pada implikasi terapetik.

Kohut menyatakan bahwa pengalaman narsistik diawali pada masa dimana bayi mulai merasakan kebahagiaan atau disebut juga infant’s blissful state. Bayi berusaha untuk mempertahankan tahap ini dengan mengembangkan 2 bentuk narsistik yang sempurna, dimana masing-masing sistem berkembang dari narsisisme primer yang terpecah, yang selanjutnya sering dikenal sebagai bipolar self ;

1. Narcissistic Self

Merupakan satu sistem yang membuat suatu ‘perfect self’, suatu bentuk perkembangan dimana segala sesuatu terlihat baik, menyenangkan dan sempurna sebagai bagian dari dalam dirinya. Sementara itu, segala sesuatu yang buruk adalah bagian dari luar dirinya. Narsisisme tidak diinvestasikan kepada orang lain melainkan diinvestasikan untuk diri sendiri dengan memberikan penilaian yang terlalu tinggi terhadap diri. Mereka berharap mendapatkan pandangan yang penuh kekaguman dari orang lain. Narcissistic self sangat berkaitan erat dengan dorongan-dorongan dan tekanan yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada munculnya ambisi.

2. Idealized Parent Imago

Sistem ini berusaha untuk mengembalikan blissful state yang hilang dengan cara memberikan kekuasaan dan kesempurnaan yang absolut kepada orang lain. Kelekatan dengan figur ‘perfect’ mengembalikan perasaan yang utuh dan menyenangkan. Idealisasi dari idealized parent imago dihasilkan melalui proyeksi dari kebahagiaan bayi; kekuasaan dan kesempurnaan, terhadap orang tuanya. Idealized parent imago dipandang dengan penuh kekaguman sebagai objek yang selanjutnya memberikan kontribusi pada munculnya figur ideal.

 Kontekstualisasi Konsep Narsisisme

Dalam era modern saat ini, narsisisme muncul sebagai cara untuk mengatasi tekanan dan kecemasan yang dirasakan. Lasch (1979) menggunakan konsep narsisisme dalam lingkup masyarakat yang luas. Suatu bentuk masyarakat baru membutuhkan bentuk kepribadian yang baru dan cara sosialisasi yang baru. Pada saat masyarakat memilih narsisisme, selanjutnya akan berkembang menjadi kondisi sosial yang dapat meningkatkan trait narsistik yang ada dengan derajat yang berbeda-beda pada setiap orang. Salah satu kondisi yang ada dalam masyarakat modern sekarang ini hal-hal yang memiliki andil dalam membentuk masyarakat yang narsistik yaitu :

  • Perubahan dalam nilai kesuksesan seseorang. Pada masyarakat modern, kesuksesan seseorang dinilai dari kemampuannya untuk dapat menampilkan citra sukses, bukan pada kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah ataupun tindakan yang telah dilakukannya. Kesuksesan dinilai dari atribut yang dimiliki seseorang, misalnya kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran yang dimiliki (Lasch, 1979)
  • Lowen (1985) membahas narsisisme pada tingkat individual maupun tingkat budaya. Pada tingkat budaya, narsisme dapat dilihat sebagai hilang atau berkurangnya nilai-nilai kemanusiaan (loss of human values) yang terlihat dari berkurangnya perhatian pada lingkungan, pada kualitas kehidupan individual, dan nilai-nilai persahabatan yang ada di antara individu.


Berangkat dari pemikiran di atas, maka penelitian mengenai narsisisme di Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan dengan melihat keanekaragaman budaya Indonesia dan kecenderungan terjadinya perubahan nilai yang terjadi di masyarakat modern. Media massa dan pariwara, tampaknya ikut memberikan kontribusi dalam perubahan gaya hidup seseorang. Upaya pengembangan penelitian di Indonesia dapat dilakukan untuk memahami, misalnya:

  • Fenomena narsisisme dalam budaya tertentu.
  • Fenomena narsisisme dalam ranah politik, pemerintahan dan pelanggaran/penegakan hukum.
  • Peran masyarakat dan media massa dalam memberikan pengaruh pada berkembangnya kepribadian narsisistik.
  • Tokoh dan penokohan: membentuk dan memelihara kepribadian narsistik.
  • Keterkaitan antara gaya hidup masyarakat modern dengan berkembangnya kepribadian narsistik.
  • Peran pola asuh dalam memberikan pengaruh pada terbentuknya kepribadian narsistik.


No comments:

Post a Comment